Indonesia bersama negara-negara lainnya di Kawasan Asia Pasifik harus bersama-sama mencari solusi terbaik bagi tantangan polusi udara.
Masalah polusi udara bukan hanya menjadi pemicu kematian lewat kanker paru-paru, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian negara.
Muhammad Shidiq dari Clean Air Catalyst, konsorsium global yang bertujuan merancang solusi yang sesuai dan berbasis data untuk masalah-masalah polusi udara, mengungkap itu dalam bincang-bincang bertema ‘Hari Udara Bersih Dunia: Menyongsong Langit Biru Jakarta’, Kamis 8 September 2022.
Shidiq berpartisipasi daring dari acara The International Day of Clean Air for Blue Skies di Bangkok, Thailand.
Dia memaparkan laporan World Air Quality Index 2020 di mana 37 dari 40 kota yang paling terdampak polusi di dunia terletak di Asia Selatan.
Sedangkan kualitas udara yang buruk berdampak negatif terhadap kesehatan penduduk.
Ini tercermin antara lain pada data angka kematian global karena polusi udara ambient pada 2015, yang 35 persennya terjadi di Asia Timur dan Asia Pasifik, dan sekitar 33 persen terjadi di Asia Selatan.
“Pencemaran udara berpotensi menurunkan kualitas kesehatan, menyebabkan kematian dini, dan menurunkan produktivitas masyarakat,” kata Shidiq, Air Quality Lead di World Resources Institute (WRI) Indonesia, yang memimpin implementasi Clean Air Catalyst di Jakarta.
Dia hadir di Bangkok bersama Fadhli Zakiy, Project Manager for Air Quality and Cities WRI Indonesia.
Untuk dampak kesehatan, Shidiq mengutip Laporan Studi Globcon 2020 yang menunjukkan bahwa kanker paru-paru adalah penyebab terbesar kematian yang terkait dengan kanker pada penduduk laki-laki dan perempuan di negara-negara ASEAN.
Di sisi lain, laporan OECD memperkirakan polusi udara akan memicu penurunan 1 sampai 2,5 persen GDP di sejumlah negara Asia pada 2060.
Menurut Shidiq, solusi untuk mencegah itu semua dan mengatasi masalah kualitas udara adalah dengan mendorong kebijakan-kebijakan pencegahan polusi udara.
Dia merujuk contoh regulasi emisi kendaraan, penetapan ambang batas emisi pabrik, dan pengaturan wilayah permukiman-industri.
Untuk kasus ibu kota DKI Jakarta, dia memberi catatan kontribusi paling tinggi terhadap ekonomi nasional.
Data terkini pada 2021, Jakarta menyumbang 17,19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun, di sisi lain, banyaknya kepentingan yang beragam menjadikan Jakarta rentan terhadap polusi udara yang mengancam 10,6 juta jiwa warganya.
Dilihat dari perspektif atribusi sumber pencemar bergerak, wilayah Jakarta dikelilingi oleh banyak kota satelit (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dengan pabrik-pabrik dan kepentingan manufaktur di dalamnya.
Dari sumber pencemar non-mobile, pembangkit listrik yang kebanyakan berbasis batubara juga terletak di kota-kota satelit, yang menghasilkan polutan udara berbahaya yang berdampak kepada Jakarta.